Penggunaan Tulisan Lontara

Secara tradisional, aksara Lontara digunakan untuk menulis beberapa bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan. Materi beraksara Lontara paling banyak ditemukan dalam bahasa Bugis, diikuti oleh bahasa Makassar, kemudian bahasa Mandar yang materinya paling sedikit. Masyarakat Toraja yang juga berdiam di Sulawesi Selatan tidak menggunakan aksara Lontara kerana tradisi sastera Toraja mengandalkan penyampaian lisan tanpa tradisi naskhah asli.[17] Aksara Lontara yang sedikit diolah juga digunakan untuk beberapa bahasa di luar Sulawesi Selatan yang wilayahnya pernah mendapat pengaruh Bugis-Makassar, seperti bahasa Bima di Sumbawa timur dan bahasa Ende di Flores.[18]

Penggunaan Aksara Lontara
  • Gulungan lontar Bugis episode I La Galigo dalam koleksi Tropenmuseum
  • Nashkah kertas episode I La Galigo dalam koleksi Universitas Leiden
  • Catatan harian atau lontara' bilang. Salah satu baris berbelok-belok melebihi baris lainnya
  • Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Makassar
  • Naskhah Kutika mengenai penanggalan

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan pra-kemerdekaan, aksara Lontara kerap digunakan dalam sejumlah tradisi teks yang berhubungan, sebahagian besarnya dalam bentuk manuskrip atau naskhah kertas. Istilah lontara (kadang dieja lontaraq atau lontara' untuk menandakan bunyi hentian glotal di akhir) juga mengacu pada suatu genre sastera yang membahas sejarah dan salasilah, topik tulisan yang paling banyak dibuat dan dianggap penting oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Genre ini bisa dibahagi ke dalam beberapa sub-jenis: salasilah (lontara' pangngoriseng), catatan harian (lontara' bilang), dan catatan sejarah atau kronik (attoriolong dalam bahasa Bugis, patturioloang dalam bahasa Makassar). Tiap kerajaan Sulawesi Selatan umumnya memiliki catatan sejarah masing-masing yang disusun dari ketiga jenis genre di atas dalam konvensi gubahan tertentu.[19] Dibandingkan dengan catatan-catatan "sejarah" dari bahagian Nusantara lainnya, catatan sejarah dalam tradisi sastera Sulawesi Selatan dianggap sebagai salah satu yang paling "realistis"; berbagai kejadian historis dijelaskan secara lugas dan masuk akal, sementara unsur berlegenda relatif sedikit muncul dan selalu disertai dengan penanda seperti kata "konon" sehingga keseluruhan catatan terkesan faktual dan realistis.[20][21] Meskipun begitu, catatan sejarah seperti attoriolong Bugis dan patturiolong Makassar tidak terlepas dari fungsi politisnya sebagai salah satu alat pengesahan kekuasaan, keturunan, maupun klaim teritorial penguasa tertentu.[22]

Penggunaan catatan harian merupakan salah satu fenomena unik sastera Sulawesi Selatan yang tidak memiliki analogi serupa dalam tradisi tulis Nusantara lainnya.[23] Pengguna catatan harian umumnya orang dengan strata tinggi, seperti sultan, penguasa (Bugis: arung, Makassar: karaeng), atau perdana menteri (Bugis: tomarilaleng, Makassar: tumailalang). Buku harian semacam ini umumnya memiliki tabel yang telah dibahagi-bagi menjadi baris dan tanggal, dan pada baris tanggal yang telah disediakan penulis akan membubuhkan catatan kejadian yang ia anggap penting pada tanggal tersebut. Seringkali banyak baris dibiarkan kosong, namun apabila satu hari memiliki banyak catatan maka seringkali baris aksara berbelok dan berputar-putar untuk menempati segala ruang kosong yang masih tersisa dalam halaman kerana satu tanggal hanya diperbolehkan untuk memuat satu baris tak terputus.[23] Salah satu peninggalan catatan harian beraksara Lontara dalam koleksi publik adalah satu volume catatan harian Sultan Ahmad al-Salih Syamsuddin (sultan ke-22 Kerajaan Boné, berkuasa 1775–1812 M) yang ia isi sendiri antara 1 Januari 1775 M hingga 1795 M.[24]

Salah satu sastera puitis yang umum ditemukan dalam naskhah Lontara adalah epos Bugis I La Galigo (ᨕᨗᨒᨁᨒᨗᨁᨚ, dikenal pula dengan nama Sure' La Galigo ᨔᨘᨑᨛᨁᨒᨗᨁᨚ). Epos mengenai asal-usul masyarakat Bugis ini merupakan puisi berbait yang terdiri dari cuplikan berbagai protagonis di latar kerajaan mitologis pra-Islam bernama Luwu'. Meski terbagi ke dalam berbagai episod cerita yang merentang hingga beberapa generasi watak, semua cuplikan saling menyambung dan cenderung konsisten dari segi isi dan bahasa sehingga semuanya membentuk satu piawaian yang lancar. Apabila disatukan, keseluruhan I La Galigo dapat mencapai hingga 6000 halaman folio, menjadikannya salah satu karya sastera terpanjang di dunia.[25] Konvensi puitis dan alusi Galigo kemudian melahirkan pula genre puisi tolo', yang menggabungkan kesejarahan genre lontara'​ dengan bentuk puitis Galigo.[26]

Aksara Lontara juga kerap ditemukan dalam teks-teks Islami yang mencakup namun tidak terbatas pada hikayat, panduan doa, azimat, tafsir, serta kitab hukum-hukum Islam.[27] Naskhah semacam ini hampir selalu ditulis dengan campuran abjad Jawi untuk istilah Arab atau Melayu. Jenis teks ini juga merupakan penggunaan aksara Lontara yang bertahan paling lama dan masih diproduksi (dalam jumlah yang terbatas) hingga awal abad 21 M. Salah satu lembaga yang kerap memproduksi materi beraksara Lontara di Indonesia pasca kemerdekaan adalah Pesantren As'adiyah di Sengkang yang menerbitkan berbagai teks Islami dengan bahasa Bugis dan aksara Lontara cetak sejak pertengahan abad 20 M. Namun memasuki abad 21 M, kualitas cetakan dan jumlah terbitan beraksara Lontara di Sulawesi Selatan kian menurun; hampir tidak ada buku baru yang disusun dalam aksara Lontara dan bahkan buku lama yang beraksara Lontara seringkali dicetak ulang dengan alih aksara Latin yang menggantikan aksara Lontara sepenuhnya.[28]

Rujukan

WikiPedia: Tulisan Lontara http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/dari_huruf_lo... http://groups.google.com/group/aksara-salman http://www.unicode.org/charts/PDF/U1A00.pdf http://www.omniglot.com/writing/lontara.htm http://code.google.com/p/aksara-nusantara/wiki/Lon... http://niariot87.googlepages.com/ https://bennylin.github.io/transliterasi/bugis.htm... http://journals.linguisticsociety.org/proceedings/... https://books.google.co.id/books/about/Malay_Seals... https://blogs.bl.uk/asian-and-african/2015/01/the-...